Hari ini tanggal 28 November 2016,
Ada hal yang berbeda dari kisah Bunga Terakhir yang ku tulis Maret 2016
lalu,
Jika Bunga Terakhir adalah penyesalanku setalah adanya kepergian,
Kali ini aku justru ingin membawa kalian pada masa dimana sebelum
adanya Kepergian itu ada.
Wanita tua yang sering kusebut Ibu ini adalah orang terhebat dalam hal
apapun, perut gendutnya adalah tempat ternyaman untukku berbaring kala itu di
umur antara 3-7 tahun sepeningatku, ahh hebatnya dia selalu membangkitkan
gairah keagamaanku untuk berdoa, bahwa ia adalah orang tua yang sempurna untuk
anak bandel yang pandai berbohong dan sering mengumpat kepadanya ini. Hobinya marah-marah, tapi dengan dipeluk anak
terbandelnya ini, hilanglah marahnya. Hanya seidkit omelan-omelan kecil yang
bahkan tak terdengar suaranya.
Mungkin kalian bertanya-tanya “Kenapa hanya ibu yang kau sebut sebagai
orang tua? Bagaimana dengan ayah?”
Ketika aku menginjak masa-masa remaja, diusia 12 tahun keatas, aku
lebih sering menolak sikap ayah kepadaku. Ayahku adalah orang yang keras, egois
dan disiplin total. Karna mungkin ia tak suka dengan sikapku yang membangkang
disaat-saat itu, dia selalu memarahiku tanpa henti dan tak jarang aku selalu
keluar dari rumah karna kerasnya sikapnya kepadaku. Aku merasa lebih tak suka
dengan sikap ayahku yang selalu membanding-bandingkan aku dengan kakakku. Oh ya
aku punya seorang kakak perempuan, dia berbeda 180o dari aku, dia
yang penurut kepada ayah inimungkin menjadi alasan kenapa ayah nampak sangat
membenciku. Hampir setiap hari kita bertengkar. Terus bertengkar hingga kadang
ibu yang mencoba melerai dengan tangisannya, justru menjadi korban dari
pertengkaran kita. Ibu ku selalu menjadi bahan omelan ayahku karna menurut
ayah, anak ibu (aku) tak pernah dididik dengan baik oleh ibu, makanya jadi anak
yang membangkang. Dan tak sering aku dan
ayahku selalu bertengkar hebat didalam rumah. Semakin dewasa aku, semakin
mengerti sikapnya, jika berdebat dia selalu tak mau kalah, seringkali aku
langsung meninggalkannya entah untuk pergi dari rumah, entah hanya sekedar
pergi dari debatannya, begitu yang ibu ku sarankan untuk aku.
Berkali-kali aku bertanya kepada ibuku, “Kenapa ibu dulu memilih hidup
bersama dengan orang seperti itu (ayahku), orang yang egois, yang tak mau kalah
dan salah,orang yang aaaahhh entah. Menyebalkan menurutku? Kenapa ibu masih
bertahan?”. Jawaban ibu tercintaku tak dapat ku cerna dalam otakku, ia menjawab
“Nak, hatinya tak seperti apa yang engkau katakan barusan, itu lah mengapa aku
ingin hidup bersama selamanya dengannya.” Aku menggelengkan kepala dan menghela
nafas, mungkin aku tak dapat mengerti apa yang ibuku maksudkan. Ibuku jauh
lebih mengenal ayahku dibanding aku. Ia telah menghadapi sikap ayahku selama
puluhan tahun, disebut apakah orang yang mampu bertahan dengan orang seperti
itu kalau bukan Cinta. J
Hari ini, tanggal 28/11/2016 adalah hari paling kacau untukku, hari
yang paling aaah teramat menyebalkan untukku, banyak hal yang merusak poin-poin
jadwalku. Tapi yang paling menghancurkan lagi, ada hal dimana hatiku seperti
dihujam pisau belati berkarat yang telah terendap dalam garam laut ini. Malam
ketika aku pulang dari kuliah, entah mengapa aku merindukan ibu sangat amat
banyak sekali. Ada ayah disana, tapi tak ku hiraukan karna aku dan dia
sama-sama egois dan ketika kita bermasalah, kita lebih memilih diam dan tak
tegur sapa. Aku memeluk ibu seperti biasanya, memainkan perutnya, dan
menggusar-gusarkan kepalaku di perut gendutnya itu. Ketika ayah pergi keluar
rumah, entah akan kemana ia saat itu, aku berbisik ke telinga ibu, “bu, kayanya
dia (ayah) kurusan ya? Kurus banget malah? Apa aku yang jarang liat? Apa emang
kurusan?”. Tiba-tibaa ibu mulai bercerita..
“Nak, beberapa
hari yang lalu aku menangis terisak dihadapannya,”
“Kenapa bu? Dia menyakiti hati ibu? Atau jangan-jangan karna aku lagi? Yaya besok aku negur dia”
“Kenapa bu? Dia menyakiti hati ibu? Atau jangan-jangan karna aku lagi? Yaya besok aku negur dia”
“Bukan nak, ketika
aku memijat kakinya, aku melihat kaki kirinya berbeda dengan kaki kanannya,
keduanya sama-sama terlihat kurus, bahkan kurus sekali. Tapi kali ini beda,
kaki kirinya lebih kecil daripada kaki kanannya nak”.
Ayahku adalah salah satu dari sekian banyak pengidap diabetes. Gula
darahnya cukup tinggi, kebiasaanya dulu yang tak pernah meninggalkan gula dan
makanan-makanan manis menyebabkan ia harus menderita diabetes. Ia dulu adalah
olahragawan, olahraga apapun dia adalah Jagonya. Bahkan dia dulu pemain karate
bersabuk hitam yang handal dalam kumite, kata dan kihon. Pokoknya kalau ada
teman main karate seperguruan Inkai, pasti semua tertunduk hormat deh. Tubuhnya
kekar, dulu berat badannya mencapai 86kg, kekar sekali. Namun kecintaannya pada
gula dan kebiasaan minum manis yang keterlaluan menyebabkan di usianya yang ke
57tahun lalu dia tak lagi boleh mengkonsumsi minuman bahkan makanan yang mengandung
gula. Dan dalam 4 bulan ini kondisi
tubuhnya melemah, tak lagi bersemangat tinggi dan tak lagi berolahraga seperti
yang selalu ia jadikan hobi ini.
“Belum juga sembuh
buk?”
“Belum nak,
malahan kemarin ketika aku menangis dihadapannya.. ia justru mengatakan hal-hal
yang tak sepatutnya ia ucapkan, hatiku terisak nak. Ia berkata, “Andaikan aku
masih bisa melihat anak bungsu kita wisuda ya bu, andaikan aku masih bisa
melihat ia sukses, andaikan aku masih bisa melihat cucu-cucuku kelak. Bu?
Bisakah aku melihat semua itu? Bisakah aku ke Mekkah bersamamu? Ketika badanku
sekurus kering ini, ketika berjalanpun aku kaku.?” Itu yang ia katakan kepadaku
nak, aku tak mampu lagi untuk menahan tangisanku dihadapannya, dan aku meminta
dia untuk tak berkata yang tak sepatutnya ia katakan nak, aku masih berusaha
ingin mengajak dia untuk bersemangat untuk kesehatannya, tetapi aku tak mampu
lagi mengucapkan sepatah katapun dia hadapannya setelah ia mengatakan hal itu
nak.”
....
Ketika ibuku menangis terisak dan membicarakan hal yang tak pernah aku
tau itu, air yang baru saja aku minum tertahan dalam tenggorokanku. Wajah ibu
yang memerah, dengan mata yang berlnang air mata dengan isakannya membuatku
semakin terdampar dalam tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku tak
pernah tau apa yang harus dan akan aku lakukan dalam padang pasir tersebut,
jangankan berdiri, melihatpun aku tak ingin. Kudekap erat tubuh ibuku. Dia
semakin terisak dan aku semakin tak mampu untuk menahan butiran air dipelupuk
mataku yang terus membendung.
Bu, andaikan ibu tau.. Aku tak pernah tau apa itu “Kematian” bu. Dalam
perjalanan hidupku bahkan engkau selalu menjauhkan aku dari pilunya kepedihan
atas kepergian seseorang. Ketika aku beranjak remaja dan aku kehilangan orang
terhebat yang paling menyayangi aku lebih dari ibu pun (nenek), engkau mencoba
untuk menenangkan aku dan menjauhkan aku dari kerumunan orang-orang yang
mendekati peti mati nenekku. Engkau selalu berkata bahwa kepergian nenek adalah
kebahagiaan untuk nenek di surga Tuhan. Meskipun aku tak mempercayai ibu, tapi
aku cukup tenang. Ketika aku beranjak dewasa, aku kehilangan seorang teman yang
sangat aku sayangi, dan ibu menenangkan ku setiap kali aku termenung mengingat
keluguan dari temanku yang telah tiada itu dengan menyuruhku untuk datang
berziarah ke makamnya setiap kali aku memikirkan dan merindukan temanku ini.
Dan semakin aku tau, ibuku ternyata menjauhkan aku dari perihal pilu yang
menyakitkan dalam kehidupan ini, yaitu kepergian untuk selamanya.
Tapi kali ini, justru ibu ku menjatuhkan aku. Ia mematikan rasa
percayaku tentangnya untuk kuat dalam menghadapi kepergian orang-orang yang
kita kasihi. Guratan di dahinya memperlihatkan ketakutannyakepadaalam akan
suaminya. Akan orang yang ia cintai sehidup semati itu. Aku bisa merasakan rasa
ketakutannya itu ketika ia memelukku dengan erat dan menangis terisak di dadaku
tadi. Aku tau bagaimana ia berusaha memberikan kasih dan semangat yang teramat
besar kepada orang yang dia cintai itu, sementara mungkin jauh disana hatinya
telah tersungkur menahan kepedihan yang bahkan ia sendiri tak tau bagaimana
mengobatinya bahkan berusaha menegarkan jiwanya.
“Bu, ibu jangan
sedih lagi, ayah pasti sehat.Ibu lupa? Ayah kan orang terkuat dikeluarga kita,
jika ayah tau bahwa ibu ternyata menahan tangis ketika melihat kondisi ayah
saat ini, bukankah itu akan menjadikan beban pikiran untuk ayah? Kasian ayah
bu, jika tau ibu sedih akan hal ini.”
“Iya nak, ibu
tidak akan menangis lagi didepannya, hanya saja nak, tiap kali ayahmu tertidur
dan aku tak sengaja melihat wajahnya yang semakin tua itu, didalam tangannya
yang bersedekap ibu membayangkan hal-hal pamali yang tak seharusnya ibu
bayangkan nak.”
“Ibu tenang saja,
ayah pasti sehat, ibu juga harus sehat, harus.. setidaknya lihatlah dulu proses
anakmu ini agar bisa menjadi orang sukses dengan perjuangannya sendiri bu.”
“Iya nak, ibu
doakan selalu kau dapat menjadi anak yang sukses kelak.”
Ketika ibuku tenang, aku mulai meninggalkannya untuk menghela nafas dalam
udara malam ini dengan rintikan gerimis yang khas di bulan ini.
Aku mulai mengingat masa lalu, masa dimana anak kecil gendut dengan
hidung peseknya dan wajah yang identik dengan ayahnya itu digendong penuh kasih
sayang untuk sekedar membeli balon berwarna merah kala itu. Cerianya anak itu ketika merasakan kasih
sayang seutuhnya dari kedua orangtuanya membuat dia lupa cara menangis itu
seperti apa. Bahkan ketika sang anak di usia 2tahun itu sakit keras, kedua orangtuanya
yang panik dan melarikannya ke rumasakit itu pun heran, si anak itu sakit,
demamnya sangat tinggi, perutnya mengalami kelainan, dan kondisinya tak baik
kala itu, tapi sang anak sama sekali tak mengeluhkan apa-apa bahkan sama sekali
tak menangis ketika jarum suntik di tusukan kedalam tangan mungil dengan
jari-jari gendut itu. Ibu yang menceritakan hal itu kepadaku. Kasih sayang ayahnya yang begitu besar
membuat sang ayah menjadi panik dan khawatir.
Sebenarnya, apa yang dikatakan ibuku tentang ayahku adalah benar. Bahwa
ayahku adalah orang yang keras namun memiliki hati yang lembut dan tulus. Dia
sangat menyayangiku dengan caranya. Aku ingat ketika si kecil itu tumbuh di
usia 5 th, badan kekar ayah dengan tangan raksasanya meraih jari-jari kecil itu
dan menggandengnya kesana kemari untuk melihat seekor gajah di kebun binatang,
kala itu melihat seekor gajah adalah hal yang paling menyenangkan untukku, yaa
itu adalah cerita ibu ku. Jari-jari raksasa itu kini kian lemah, tubuh kekar
ayah kini telah hilang, namun masih kulihat kuatnya ayah yg dulu tak berbeda
dengan sekarang, ia teramat pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Namun hal itu
yang menjadi kekhawatiran ibu ku, aku pula.
Seorang anak kecil yang digendong ayah dipundaknya itu adalah aku, tak
ada surga yang membahagiakan selain bisa duduk di pundak ayah dan berpegangan
di kepalanya. Begitu tingginya, hal itu menjadi hal yang paling indah untuk
anak ini. Namun, jangankan menggendong, menampar di pipi atas kesalahan yang
aku perbuatpun rasanya tak akan lagi dilakukan ayah. Menyuarakan kata-kata kasar ketika anaknya tak
dapat peringkat 1 dikelasnya juga ku rasa tak akan lagi dilakukan ayah. Dia
hanya menginginkan Tuhan memberikan kesehatan dan umur yang panjang untuk
melihat kesuksesan anak-anaknya. Jangan berpikir bahwa ia merindukan uangmu,
tapi ia hanya akan tenang ketika kau dapat hidup dengan uangmu sendiri tanpa
bantuannya lagi.
Jika Albert Einstein itu memiliki IQ yang tinggi sehingga banyak orang
menyebutkan dia adalah orang jenius di dunia, menurutku ayahku lah orang yang
paling jenius di dunia. Kau tau apa? Segala yang tak pernah aku bisa bayangkan
dan aku bisa kerjakan, selalu bisa diatasi oleh ayahku. Apapun itu, dari
mesin-mesin elektro, tukang kayu, tukang jahit, coach, guru matematika, guru
bahasa inggris, aahhh apa saja selalu bisa dikerjakan ayahku. Dia adalah
anugerah yang Tuhan beri untukku, dia adalah guru terhebat dalam kehidupanku.
Aku ingin mewarisi keahliannya dalam segala hal, tapi aku masih jauh dari apa
yang aku bisa dan aku harapkan. Aku tak bisa bayangkan duniaku tanpanya, juga
tanpa ibu. Aku tak bisa bayangkan akan hal-hal itu.
Sosok ayah adalah hal yang paling tak bisa kamu gambarkan dengan rasa,
kau tau kenapa? Karena ia tak pernah menunjukan rasanya, rasa kesalnya, rasa
letihnya akan pekerjaan, rasa senangnya bisa menghidupi keluarganya, dan
terlebih rasa sakit yang ia rasa. Tanggungjawab yang begitu besar sebagai
kepala rumah tangga tak pernah ia torehkan kepada orang lain. Untuk
menceritakannya kamu butuh waktu setengah usiamu saat ini. Karena takdir
menutupi semua rasa yang ada padanya, dan keterbatasan itu lah yang menyebabkan
kita takmengetahui isi hatinya.
Tapi sosok ibu adalah hal yang selalu ingin kamu gambarkan, karena ibu
selalu menciptakan suasana penuh rasa kasih dan sayang, dengannya seumur hidup
pun tak akan cukup untuk meceritakan sosoknya.
Didunia ini maupun dunia yang lain, tak tentu ku temukan orang-orang se
sempurna ayah dan ibuku..
Namun yang terpenting adalah, ketika orangtua kita masih lengkap,
dekaplah ia dengan kasihmu, ciumlah mereka dengan cintamu, dan jagalah mereka
dengan doamu. Tuhan yang mampu menangkal rasa kekhawatiran kita, hanya Dia lah
yang mampu membolak-balikkan tulisan yang telah ditakdirkan. Begitu besar
pengaruh kedua orangtuamu dalam hidupmu, jangan kau sesali yang telah terjadi,
jagalah semampumu engkau menjaga, kasihilah dan sayangilah mereka layaknya tak
ada orang lain yang patut engkau sayangi selain mereka. Hidupmu bercermin dari
mereka...
Aku bangga menjadi anak ayah,
Aku bangga menjadi anak ibu.
Komentar
Posting Komentar