15 Oktober 2019,
(Pukul 12.19 WIB).
“Bu,
makan. Es Teh tawar dulu bisa deh.”
“Ya
kak, makan sama apa? Es nya biar dibikinin si eneng dulu yak.”
Ada
3 orang laki-laki, 2 orang perempuan masih berusia kisaran 17th an,
dan si ibu pemilik warteg. Warteg yang bener-bener warung tegal. Logat si ibu
kentara banget.
“Sama
apa aja yang engga pedes bu.”
“Yah
sayur sop nya baru aja abis. Opor ada kak.”
“Kuah
nya aja boleh bu, jangan pake ayamnya ga doyan saya. Kasih cumi, otak-otak,
jamur, sama tempe ya bu. Nasinya satu setengah.”
Beberapa detik kemudian datang si kenikmatan duniawi yang
hakiki, es teh tawar dewa. Aku mengeluarkan amplop yang sedikit lusuh dari tas
kecilku. Amplop yang tak bernama tapi penuh teka-teki. Karena tiba-tiba datang,
aku sontak melihat jam tangan dan memastikan bahwa ini tanggal 15, jauh dari
kata “Gajian”. Mana ada jaman sekarang gajian masih pake amplop seperti ini.
sepanjang ini, dan lusuh pikirku. Ketika aku buka ujung amplop ini aku lumayan
terkejut ketika mendapati bahwa didalamnya berisi sebuah surat dengan pena
berwarna biru, begini isinya:
(btw,
ada beberapa hal yang memang aku kaburkan isi suratnya. Pun atas seijin dari
penulisnya.)
14 Oktober 2019,
PT. XX
Dear Owel,
“Bumi
tau bahwa Senja tak pernah menjanjikan keabadian.”
Tidak hanya hariku,
melainkan mungkin harimu terlewati dengan tidak baik. Setiap hal yang
mengatasnamakan trauma akan masa lalu terlihat masih cukup kuat hingga hari ini
bukan?
Dan aku yakin,
menganggap semuanya berlalu justru akan semakin membuat permasalahan menumpuk.
Beberapa bulan yang
lalu aku menyadari ada yang tak benar tentang “sosokmu”.
Untuk segala hari
baik yang bisa kau lewati, dari terbitnya matahari hingga senja kian larut.
Untuk ribuan jam yang membawamu dalam suatu ruang tak terbatas.
Untuk segala nafas
yang mampu kau hembuskan. Berucap syukurlah, itu hadiah dari-Nya yang tak perlu
lagi kugambarkan betapa Ia menyayangimu tanpa tapi.
Dalam segala riuh di
masalalu yang membuatmu tersungkur atas badai hebat yang menghantarkanmu pada
“trauma”, aku dan mereka yakin bahwa kau masih menyisihkan tenaga untuk bangkit
dan melawan kepedihan tersebut.
Banyak yang
kehilangan sosokmu. Bukankah kau tau, pembunuhan ter-keji dalam dunia ini
adalah membunuh karaktermu sendiri?
“Jika suatu saat
nanti semangatmu harus terpaksa remuk lagi, dan itu membuatmu kembali terjatuh,
ingat ini:
Kau masih punya
banyak telinga yang tak segan untuk mendengar keramahanmu yang marah.
Jika tanganmu tak
bisa menghapus kepedihanmu, kau masih punya banyak lengan yang siap untuk
meenciptakan ruang tenang yang khusus untukmu berduka.
Banyak yang masih
ingin memberikan senyum terbaiknya, lelucon-lelucon konyol dan segala hal baik
untukmu, karena mereka paham bukan hanya kau yang berduka atas segala kepahitan
dalam hidupmu. Pun aku dan mereka yang mengasihimu akan turut dalam duka yang
kau ciptakan.
Mari tukar seluruh
jam tidur yang hilang itu dengan percakapan sederhana yang sering kali tak
berujung, agar kau sejenak mampu meluruhkan segala pedih dalam dukamu. Mari
menangis, mengeluh, memaki, lalu bangkit lagi.”
Aku percaya, kau
dapat menyembuhkan dirimu dengan kasih yang kami dan seluruh orang-orang
terkasihmu miliki untukmu.
Bahkan aku
bertanya-tanya, bagaimana kau memulai pagimu. Mungkin kau terbangun karena
mimpi buruk, terbangun bersama beban-beban baru atau masih terjaga hingga detik
ini karena takut memimpikan mimpi buruk itu lagi.
Jika pagi tadi hingga
kini kau belum tersenyum, atau butuh alasan khusus untuk tersenyum, tolong
yakini ini: Ada orang yang selalu mendoakanmu. Orang yang selalu ingin melihatmu
bahagia dan menjadi lebih baik. Siapa orang itu? Mungkin orangtuamu, mungkin
saudara-saudaramu, mungkin mereka yang diam-diam menyayangimu, dan aku tentu
saja. (Anggoro) --___--“
Terkejut? Apakah
sekarang kau mampu memikirkan bahwa mereka ada disekelilingmu?
Hanya karena kau
sedang sibuk dan punya banyak beban dalam pundakmu , bukan berarti orang-orang
berhenti menyayangimu.
Maaf jika tulisan ini
tidak cukup membantu meluruhkan bebanmu.
Segala keriuhan dalam
hati dan pikiran manusia memang hanya diri saja yang bisa mengendalikannya.
Tapi aku berharap kau tidak berlama-lama bermain disana. Tolong, singkirkan
awan-awan gelap itu dari hatimu. Tolong, aku bahkan ikut pedih melihat bahwa
banyak orang-orang yang menyayangimu harus pulang kerumah orang yang selalu
memelihara hujan disekitar. Biarkan cahaya meneranginya, sambut hangatnya, dan
terima tenangnya.
Semoga ada hal baik
yang terjadi hari ini . Jika tidak ada. Mari lahirkan hal baik itu dari
tanganmu, dirimu, dan hatimu.
Best
Regard, 14.13
Anggoro
Nah seketika es dewa yang baru saja aku telan, seolah ditahan
oleh gundukan batu besar di rongga kerongkonganku. Dan itu sakit sekali,
seperti kau kesulitan hendak menelannya, atau bahkan kesulitan untuk
memuntahkannya. Aku langsung cari hp ku, dan menuliskan pesan singkat untuknya.
“Itu tulisanmu? Wahhh copaste iki
aku yakin.” Ternganga dengan tulisan rapi bak pujangga kelas Eyang Pram
dituliskan oleh si Anggoro ini yang bahkan 13 + 26 saja mungkin akan dijawab 1
jam lebih 12 menit dan belum tentu hasilnya valid. Beeeeeh.
“Bu,
dibungkus aja. Udah jam segini, biar nanti saya makan lagi.”
Waktu cepat sekali berlalu di warteg yang penuh dengan
bapak-bapak kelaparan, ku kira satu setengah porsiku sudah terlalu banyak.
Ternyata mereka mampu 2 porsi sekali makan. Btw, aku sebetulnya tak begitu suka
makan didaerah asing dan bahkan bergabung dengan banyak orang di suatu ruang.
Aku lebih suka makan sendiri di kamar, atau di tempat yang tak begitu banyak
orang berlalu-lalang. Tapi kehidupan memaksaku membunuh sosok ku yang lalu.
Disini makanannya biasa saja, tapi selalu ada bahan candaan yang aku saring di
telingaku ketika aku makan disana. Si pemilik warteg asli dari tegal yang
kental sekali dengan logatnya, sedangkan pekerjanya (anak-anak muda) tersebut
adalah orang asli sunda. Ketika mereka berdebat, itu seperti tontonan dan
konsonan baru untukku. Hiburan. Kalau kalian hendak kesana, ada warteg yang aku
lupa namanya, dihimpit oleh warung makan padang di kanan kirinya, dan lokasinya
ada di sebelum stasiun Haji Nawi.
Sebelum ini kutulis dengan runtun, aku menawarkan pada
Anggoro bahwa aku tak bisa membalas pesan hebatnya yang ia berikan padaku.
Sungguh, andai saja amplop itu keren, wangi, berbunga-bunga, mungkin bisa ku
klasifikasikan sebagai surat cinta. Nah ini, amplop dari kantor, kertas dari
sobekan halaman tengah. Masyaallah, luar biasa engkau dalam kehidupanku nak.
Aku berkata padanya bahwa akan kutulis suatu kisah mengenaskan tentang manusia
tak tau diri yang hina, yang memiliki keterampilan dalam hal berkeluh kesah.
Dan ketika tulisan itu rampung, aku ingin ia membacanya terlebih dahulu sebagai
hadiah ucapan terimakasih bahwa ia selalu menjadi telinga yang baik ketika
suara bahkan tak bisa keluar dari mulutku. Huuuuu, jangan bertepuk tangan, atau
bahkan keheranan. Haha
“Senja
tak selalu sejingga ekspetasi orang terhadapnya. Bahkan Kaktus tak selalu hidup
dalam padang pasir yang tandus.”
Kau tau? Rupa-rupanya kakiku mampu merasakan tulang-tulangnya
mengorganisir sendi-sendi untuk berdiri karena apa? Karena orang-orang
sepertimu bekerja dalam kehidupanku. Malu? Ya, pasti. Bahkan diriku yang memiliki
jiwa yang ada dalam tubuh ini pun sudah melepaskan diri jauh sebelum hingar
bingar itu terjadi. Seketika tulang belulangku menjadi selosong daging kosong
yang enggan untuk tegap berdiri. Kau hebat, begitu juga dengan beberapa beliau
yang akan kutuliskan di beberapa paragraph setelah ini. Terkadang, melihat ku
yang berdiri saat ini cukup membuat kepalaku tak mampu mendongak. Bagaimana
bisa, aku hanya pemilik, sedangkan kalian bersikeras merawat dengan kebaikan
agar ia tak hancur begitu saja. Bagaimana bisa manusia hina ini bisa percaya
diri memperlihatkan betapa tebal mukanya hingga ia tak mampu menguasai dirinya.
Dan bahkan mengusir pergi jiwanya.
“Manusia harus hidup,
harus kuat, jangan berkeluh kesah. Berhentilah sambat. Tuhan memberimu
kehidupan bukan untuk sambat, dasar bangsat !”
Dipenghujung tahun 2018 aku mempunyai waktu yang sangat
berharga bersama orang hebat yang ku sebut teman, eh bukan kakak, Mbak.
Tepatnya di depan kampus PDIH.
“Mbak, aku kadang malu, ketika berada dalam sujud
akhir, yang selalu aku sampaikan hanyalah keluhan. Tapi untuk menahannya
sendiri, rasanya aku tak kuat. Namun, bukanlah Tuhan akan marah jika kita yang
dikaruniai kehidupan oleh-Nya hanya berkeluh kesah tiap kali kita ada di sujud
akhir. Alih-alih bersyukur, nyatanya tersungkur dan mengeluh. Mbak tau, aku
pada akhirnya memendam semuanya saking malunya terhadap Ia, dan hanya berdoa
yang indah-indah saja.”
“Wel, manusiawi memiliki keluh-kesah dalam kehidupan. Pun
kamu yang sedang akan beranjak dewasa. Aku dengan segala kehidupanku saat ini,
membesarkan kedua anakku dan berusaha menjadi ibu yang baik dan istri yang baik
di dalam kehidupan rumah tanggaku saja pasti memiliki keluhannya sendiri. Dan
ketika tiada satu pun orang yang bisa kuajak bercerita tentang keluhanku, siapa
lagi yang mampu ku andalkan? Selain Gusti Allah. Berkeluh-kesah terbaik itu
memang dihadapan-Nya, bukan dihadapan makhluk ciptaan-Nya. Namun yang menjadi
tidak baik adalah jika kamu tiap hari mengeluh dihadapannya, sehingga rasa
syukurmu akan kabur karna keluhanmu.”
(Tamparan
yang aku dapatkan saat itu, dan selalu menjadi peganganku hingga kini. Bak,
sebelum diri larut dalam segala keluhan, ratapilah seluruh nikmat yang Ia beri.
Begitu bukan seharusnya?)
11
Oktober 2019,
“Ingat
bahwa mungkin kamu ga merasa berharga. Tapi untuk orang-orang disekelilingmu,
kamu sangat berharga.. Dan mereka ga akan bahagia kalo kamu ga menghargai
dirimu sendiri.” (Mamah Jibil & Aylin)
“It’s
Okay to be not okay. Gapapa kamu sedih, gapapa kamu capek. Jangan ditolak. Ijinkan
aja. Kamu tdk sendiri.” (Mba
Nu – yang punya nama belakang sama denganku )
15 Oktober 2019,
“Setidaknya hiduplah untuk dirimu sendiri jikalau tiada
satupun yang ada disekelilingmu. Berbahagialah.” (Owel – kertas gulungan kecil di
dompet. Kertas gulungan ajaib)
Aku terlalu membuang diriku jauh ke padang pasir tak bertepi
itu. Meniadakan segala harap dan tujuan pasti dari sebuah arah kehidupan.
Menjadikan diri kosong dalam setiap keramaian. Membisukan segala caci makian
diri untuk diterpa senyap. Menghunuskan mata pedang dalam jantung yang berdetak
tanpa harus ikut bersimphony dalam rayuan duka.
“Bahagia hanya mampu
diciptakan oleh dirimu sendiri.”
Bagaimana
jika diri enggan untuk menapakinya? Merayakan kebahagiaan yang ia ciptakan. Dan
memilih menonton pertunjukan manusia-manusia yang tercipta dan lahir dari
kebahagiaan nyata.
Jika
kehidupan tak membantuku pulih dari kegetiran diri. Aku akan hidup dengan
kebahagiaan untuk mereka yang ternyata hanya berjarak 12.4cm dibelakangku
Jika
alam semesta tak bosan menghancurkan harap dan mimpiku. Aku akan terus bermimpi
dan berlari mengejar citaku, untuk mereka yang telah memberiku ruang penuh cita
yang belum tergapai.
Jika
langkah kakiku terpatahkan oleh hujatan dosa. Aku akan terus melangkah
menggunakan lenganku, bukankah aku memiliki 1204 pasang kaki yang mampu
menopang?
Jika
terus banyak kata “jika” mewarnai kehidupanku. Aku akan menutup kalimat dengan.
“Aku akan.”
Terimakasih untuk ruang pilu yang disajikan untuk manusia tak
punya malu seperti saya. Terimakasih untuk segala pundak kuat yang mampu
membuat saya bisa tersandar ketika luka. Tak heran, bahwa orang yang hidup
hingga 80th keatas adalah orang hebat, yang mampu
mempertahankan diri dari sekeliling roda kehidupan. Tak henti kobaran syukurku
bahwa Tuhan melahirkan bentuk rejeki yang luar biasa untukku lewat orang-orang
hebat dan penuh cinta kasih untuk sosokku. Semoga Tuhan memberiku sempat untuk
menceritakan kesemua ini kepada keturunanku di masa yang akan datang kelak,
bahwa aku pernah sebersyukur ini dikaruniai kebahagiaan dari orang-orang hebat
seperti beliau-beliau ini. Terimakasih.
Bicara Langit Dan Seisinya,
Owel
Bicara Langit Dan Seisinya,
Owel
Komentar
Posting Komentar